Buletin Seguecast #03 - 18 Maret '21
Selamat datang di Buletin Seguecast, buletin mengenai budaya populer oleh orang-orang tidak populer. Buletin ini adalah proyek baru segenap kru Seguecast untuk menuliskan tentang hal-hal yang tidak begitu banyak orang pedulikan, dan demi mewujudkan keadilan sosial, kitalah yang harus turun tangan untuk menjadi peduli. Ya, rasa peduli kami terhadap topik topik remeh temeh sebesar kepedulian kami terhadap kalian para pembaca. Oleh karena itulah, edisi Buletin Seguecast di minggu ini adalah double edition! 2 Buletin Seguecast dalam 1 minggu!
Pada edisi hari ini, anjing/siswa akan menulis mengenai topik yang disukainya. Isekai! Dunia yang begitu jauh, namun begitu dekat. Dunia yang seharusnya membawa kita pembacanya untuk kabur sejauh mungkin dari realita, namun ternyata masih punya masalah besarnya sendiri. Besok, delta akan datang dengan more lovely contents khas dirinya.
Kalau kalian juga peduli, out of agreement atau bahkan ketidaksetujuan, kami akan sangat berterimakasih! Karena jika demikian, maka perasaan kita bersambut <3. Jikalau kalian ingin berinteraksi dan membawa hubungan kita ke level yang lebih jauh, maka kalian boleh mendaftar dengan menekan tombol dibawah!
Terhibur atau tidak terhibur, semoga kawan-kawan sekalian yang sudah bother datang membaca bisa merasakan sesuatu. Karena tidak ada yang lebih menakutkan daripada menyadari bahwa tidak ada lagi hal yang bisa menstimulasi kalian. Bahwa kalian sudah menjadi comfortably numb.
Terimakasih sudah datang!
anjing/siswa: Kabur ke Ribaan Human Trafficking : Antara Isekai dan Perbudakan
Belakangan ini saya sedang menonton ulang Aura Battler Dunbine. Tidak hanya berusaha menyegarkan kembali ingatan tentang judul ini setelah memainkan Super Robot Wars, namun juga sekalian mencoba mengamati unsur – unsur mana sih yang serupa dengan literatur isekai modern. Hal ini dikarenakan, Dunbine, yang disutradarai oleh pak Yoshiyuki Tomino, selain adalah anime mecha yang lumayan menjadi wheelhouse-nya beliau, rupanya juga adalah anime mecha-medieval fantasy pertama sekaligus anime isekai pertama.
Saat sedang melakukan studi komparasi berkedok nonton anime inilah tiba-tiba pertanyaan pentingnya muncul: “Kapan sih perbudakan mulai pervasif di literatur isekai modern ini?”
Disclaimer : Tulisan Ini bukanlah tulisan akademik. Akan ada banyak opini penulis di ujung tulisan ini.Penulis juga adalah pembaca beragam judul isekai, dari yang memang bagus, yang merasa dirinya bagus, yang tidak bagus, sampai yang vile dan tidak bisa dibenarkan sekalipun.
Mencari Patient Zero
Hal pertama yang saya lakukan adalah mencari di google. Keywordnya kurang lebih, isekai + slavery + first atau variasi – variasi lainnya yang bisa membantu saya mem-pintpoint kira-kira judul apakah yang pertama kali menggunakan elemen perbudakan ini. Salah satu keyword yang juga saya gunakan adalah narou.
Narou disini mengacu pada Narou-kei, yaitu arketip judul-judul isekai yang biasanya dikarakterisasikan dengan punya cerita yang biasanya kaya akan wish fullfilment, atau self indulgence. Pernah membaca isekai yang punya protagonis super OP entah itu karena mendapat berkah khusus dari dewa, membawa barang atau pengetahuan dari dunia mereka tinggal sebelumnya, atau bahkan bisa berinteraksi dengan memanipulasi user interface dari dunia mereka saat ini? Maka hampir bisa dipastikan bahwa judul tersebut adalah Narou-kei. Kata Narou ini sendiri adalah pinjaman dari Shousetsuka ni Narou (小説家になろう, lit. "Let's Become a Novelist") yang adalah sebuah situs web novel Jepang dimana para usernya bisa berkontribusi dengan menerbitkan sendiri hasil karya mereka. Shousetsuka ni Narou sendiri jadi prevalen di dunia pop-culture Jepang karena judul-judul isekai populer yang lalu diadaptasi jadi anime sehingga meng-kickstart tren isekai beberapa tahun belakangan hampir semuanya bermula sebagai konten web novel di situs ini.
Beragam situs saya telusuri mulai dari twitter, reddit, serta berbagai blog post yang orang tulis mengenai Isekai. Beberapa video essay di youtube mengenai isekai juga saya tonton. Sayangnya tidak ada yang berhasil membantu saya menemukan judul isekai modern apa yang menggunakan slavery sebagai unsur naratifnya tadi.
Solusi terakhir yang bisa diambil nampaknya adalah...untuk menjelajahi Shousetsuka ni Narou itu sendiri...tapi nuh-uh. Sebagai budak korporat yang hanya bisa riset + menulis selepas kerja dan sebagai manusia biasa yang masih punya kehidupan decent meskipun tidak bahagia-bahagia amat, harus menjelajah situs ini begitu saja rasanya seperti mencoba mendaki gunung Everest tanpa persiapan yang matang.
Mungkin lain kali.
Meskipun gagal menjawab pertanyaan “kapan”, saya tetap ingin mengamati hubungan apa yang dimiliki antara Isekai dengan perbudakan. Oleh karena itu, pertanyaannya saya geser menjadi “kenapa”. Untuk bisa menjawabnya, saya putuskan untuk sedikit memutar, mengambil rute yang sedikit lebih scenic untuk bisa mampir-mampir sebentar di beberapa tempat menarik.
Bertanya pada Sesepuhnya
Pemberhentian pertama saya adalah untuk mencoba mencari dan memerhatikan perbudakan di pelbagai fiksi fantasi populer.
Isekai, sebagai literatur populer, banyak meminjam lexicon dan worldbuilding logic dari beragam fictional works pendahulunya. Dari seluruh hal yang menjadi influence-nya, video game, terutama RPG fantasi adalah yang paling sering dimanfaatkan. Hampir seluruh komponennya sudah dikorporasikan ke berbagai judul isekai. Fantasy RPG sendiri, in turn, adalah bentuk gamifikasi atau terinspirasi oleh berbagai fantasy fiction dengan subgenre sword and sorcery seperti Lord of The Rings atau Chronicles of Narnia atau Wheel of Time atau seri-seri dan judul-judul berpengaruh lainnya.
Karena saya tidak mau terlalu ambil ribet, dan ini bukan makalah ilmiah anyway tentunya saya hanya meng-google saja, dengan kata kunci slavery in + x dimana x adalah judul literatur fantasi yang saya ingin cari tahu apa dan bagaimana konteks perbudakan didalamnya. Tenang saja, saya tidak hanya mengandalkan apa yang ditemukan di top findings dan melakukan penelusuran lebih dalam sedikit, meskipun kalau ada page wiki/wikia-nya biasanya itulah yang saya jadikan acuan. Kalau saya rasa kurang komprehensif baru akan saya cari lagi lebih jauh.
Yang pertama saya cari, tentu saja Dragon Quest. Ini karena bagi saya pribadi, tidak ada seri fantasi fiksi modern yang punya paling banyak pengaruh ke worldbuildinglogic dan estetika sampai bestiary isekai Jepang ya Dragon Quest (Meskipun Dragon Quest sendiri bisa ada karena terinspirasi oleh Wizardry). Secara teknis, Dragon Quest adalah JRPG pertama sehingga apa yang diwariskan sudah menjadi zeitgeist bagi seluruh JRPG yang rilis setelahnya.
Salah satu judul Dragon Quest paling populer, Dragon Quest V (yang punya film animasi sendiri dan jelas-jelas seluruh estetikanya di”pinjam” oleh serial parodi low-budget Yuusha Yoshihiko), punya plot yang melibatkan perbudakan di dalam gamenya. Hero, atau playable character yang bisa kita beri nama sendiri, karena satu hal, terpaksa menjadi budak selama 10 tahun sebelum akhirnya membebaskan dirinya dan budak-budak lainnya. Yang cukup serupa, pada buku Voyage of the Dawn Trader pada seri Chronicles of Narnia, para tokoh utama kita tertangkap dan lalu dijual belikan sebagai budak. Untungnya sebelum hal buruk mendatangi para tokoh utama kita, mereka bebas, dan lalu mengalahkan penguasa lalim yang mendukung perbudakan.
Baik Dragon Quest maupun Narnia punya kesamaan dimana tokoh utama kita bukanlah sang instigator yang memperbudak orang lain ataupun terlibat dalam kegiatan transaksional human trafficking. Kepemilikan atas manusia lain, atau sudut pandang dimana makhluk lain dirasa punya value yang tidak sama dengan makhluk lainnya, adalah hal yang salah dan harus dikalahkan.
Salah satu fictional fantasy universe yang punya hubungan dengan perbudakan yang lebih komprehensif adalah The Elder Scrolls Universe. Disini, bangsa elves punya sejarah sebagai ras yang memperbudak ras lain. Ini mengakibatkan, meskipun di berbagai lokasi perbudakan sudah diabolish dan dilarang, hubungan antara berbagai ras dengan para elves menjadi dingin. Belum lagi fakta kalau banyak elves yang masih bertindak arogan dan merasa bahwa mereka lebih mulia dari ras lainnya.
Meskipun tidak seluruh sub-race dari bangsa elf mempraktikkan perbudakan, dan tentunya tidak seluruh elf adalah snobbish, arrogant fascists, animosity yang ada dari bangsa yang pernah menjadi korban perbudakan ditujukan pada seluruh jenis elf yang ada hampir tanpa terkecuali. Diluar perbudakan itu sendiri, salah satu hal paling prominen dari dinamika antar-ras di Elder Scrolls Universe adalah bagaimana seluruh ras membenci ras lain akibat sejarah masa lalunya. Karena rekonsiliasi tidak terjadi semudah itu, maka Racism is the norm, not the exception.
Saat melakukan pencarian, salah satu judul lain yang menginkorporasikan perbudakan dengan lebih kompleks adalah A Wheel of Time. Adalah Damane, yaitu perempuan yang bisa menggunakan kekuatan sihir yang lalu secara literal dirantai dan dijadikan budak. Ini hanya terjadi di satu kerajaan, dan bisa terjadi karena sistem yang dijalankan oleh kerajaan tersebut. Singkat cerita, seluruh warganya digaslight untuk percaya bahwa apabila mereka bisa menggunakan kekuatan sihir, maka mereka adalah makhluk berbahaya yang harus menyerahkan kendali atas diri mereka sendiri kepada orang lain. Mereka lalu dipasangi collar, dan melewati serangkaian behavior training yang membuat diri mereka menjadi menurut dan bergantung pada pemiliknya. Saat mereka dibebaskan mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan dengan kebebasan yang mereka dapat. Nantinya kita akan sedikit mengunjungi ini lagi namun bagi saya ini temuan yang menarik karena saya rasa ini sangat mirip dengan apa yang kita akan sering temukan di kisah kisah Isekai.
Baik Elder Scrolls Universe maupun A Wheel of Time menggunakan slavery dalam plotnya dalam ranah yang lebih institusional. Ada faktor geopolitis serta konsekuensi sosial yang terjadi sebagai akibat dari slavery, bahkan setelah tindakan tersebut diabolish. Disini, slavery tidak hanya dimulai dan selesai selama proses traksaksional si human trafficking-nya berlangsung. Slavery, dimungkinkan oleh pihak – pihak yang punya kuasa. Bagi mereka, adalah sepadan untuk merendahkan dan mengorbankan makhluk dari ras lain (yang masih berbentuk humanoid dan punya kehendak bebas) selama mereka bisa mendapat untung, atau hegemoni mereka tetap terjaga, atau sekedar mengekalkan rasa iri atau kebencian atau ketakutan terhadap pihak-pihak yang dirasa “berbeda”.
Sementara itu, dedengkot seluruh jenis kisah fantasi fiksi ini, The Lord of the Rings, tidak pernah secara tekstual menceritakan soal adanya kegiatan jual beli dan kepemilikan atas makhluk lainnya di Middle-Earth. Meskipun demikian, secara teknis seluruh pasukan dan subjek milik Sauron adalah budak Sauron.
Isekai Modern
Akhirnya kita sampai ke sini. Bagaimanakah hubungan antara isekai dengan perbudakan?
2019 kemarin, Tate no Yūsha no Nariagari (盾の勇者の成り上がり lit. The Rising of Shield Hero) menciptakan beberapa kontroversi. Salah satunya adalah karena sang tokoh utama, Naofumi, turut terlibat dalam act of human (technically) trafficking. Naofumi, karne membutuhkan party member untuk bisa memulai perjalananannya (untuk membalas dendam pada semua pihak yang mengkhianatinya), hanya bisa mendapatkannya melalui membuat slave contract dengan Raphtalia, seorang beastkin.
Sejatinya, apa yang terjadi disini logis baik menurut plot maupun worldbuilding logic. Apabila mengingat apa yang ada di seri buku A Wheel of Time yang sudah kita kunjungi sebelumnya, menurut saya ini adalah yang paling mirip dengan model-model slave yang diterapkan oleh kisah-kisah isekai. Seringkali di cerita-cerita Isekai korban perbudakan adalah ras-ras yang harusnya lebih kuat dari manusia, namun karena nilai nilai yang ditanam secara sistematik mereka dianggap sebagai masyarakat kelas rendah. Biasanya beastkins, atau demon, atau ras atau manusa dari negara lain yang secara inheren punya kemampuan fisik atau magis yang lebih tinggi daripada penduduk negara tempat transaksi dijalankan. Salah satu contohnya adalah seperti yang dialami oleh Raphtalia. Raphtalia dapat dikatakan sial karena dia tinggal di kerajaan dimana manusia dianggap adalah makhluk yang lebih mulia daripada makhluk-makhluk beastkin yang mengakibatkan dia bisa ditangkap dan dijual belikan sebagai budak. Apabila dibandingkan dengan pengaruhnya dari dunia nyata, maka ini tentu serupa dengan model perbudakan di abad pertengahan dan early modern age dimana yang diposisikan menjadi budak adalah mereka yang dianggap tidak sama oleh si pelaku perbudakan.
Kita dapat menarik benang merah pada perbudakan yang digunakan sebagai bagian dari plot Death March Kara Hajimaru Isekai Kyōsōkyoku (デスマーチからはじまる異世界狂想曲 lit. Death March to the Parallel World Rhapsody). Seluruh party member awal dari Satou, sang protagonis adalah beastkin dan manusia yang karena penampilannya membuat mereka dijauhi masyarakat. The catch though...hampir seluruhnya adalah perempuan.
Dari pelbagai judul isekai yang saya pernah baca dan melibatkan slavery, slaves yang menjadi companion sang tokoh utama hampir seluruhnya adalah perempuan. Satu judul yang agak berbeda yang pernah penulis baca adalah Saikyou no Shokugyou wa Yuusha demo Kenja demo naku Kanteishi (Kari) rashii desu yo? (最強の職業は勇者でも賢者でもなく鑑定士(仮)らしいですよ? lit. It Seems the Strongest Job is Not Hero nor Sage, but Inspector (Provisional) Instead?) disni, budak yang menjadi teman tokoh utama justru adalah sang hero yang nantinya mampu menyelamatkan dunia. Sementara sang tokoh utama hanya punya skill appraisal yang membantunya menemukan si hero ini di slave market. Seperti jadi bisa membedakan buah atau telur mana yang bagus dan jelek saat berbelanja. Perbedaannya cukup disitu saja sebenarnya karena sang hero digambarkan sebagai beastkin serigala, dan bersamaan dengan sang hero tokoh utama juga membeli seorang anak perempuan yang punya potensi menyelamatkan dunia 11-12 dengan sang hero lah.
Pada Shield Hero dan Death March, ada garis yang sudah diset jelas antara protagonis dengan companionnya. Meskipun ada kasus dimana si budak membuat advances pada sang tokoh utama, atau ada perasaan sepihak yang secara teks tertulis jelas, biasanya tidak ada hubungan romansa yang terjadi di antara karakter utama dengan slavenya (biasanya malah lebih mirip ayah-anak atau kakak-adik). Saya menyebut 2 cerita isekai ini sebagai tipe isekai wandering atau adventure stories. Di cerita isekai macam ini, sang tokoh utama punya tujuan tertentu (entah dari awal seperti keharusan mengalahkan raja iblis atau setelah direkontekstualisasi oleh apa yang dia temui di dunia tersebut; balas dendam untuk naofumi atau...death march untuk Satou) slaves jelas utilitasnya sebagai companion perjalanan sang tokoh utama. Yang convenient, saat tujuan utama dari para budak ini adalah untuk lepas dari slave owner yang lalim, saat kepemilikan atas mereka berpindah tangan ke tokoh utama maka mereka secara otomatis jadi punya tujuan yang singular dengan tokoh utama, memudahkan penulis menjuggle banyak karakter sekaligus karena mereka jadi comes in a package. Atau kebalikannya, saat si tokoh utama datang dari dunia lain dengan berbagai advantages dan kekuatan luar biasa namun tidak punya goal yang diestablish di awal cerita, pertemuan dengan budak yang mereka dapatkan lalu jadi sumber motivasi untuk memajukan plot. Setelah bertemu budak yang dulunya putri dari negara yang dijajah misalnya, maka sang tokoh utama pengelana tanpa tujuan ini nantinya akan memutuskan untuk membebaskan negara budak miliknya dari penjajahan.
Lalu bagaimana dengan isekai-isekai yang motivasinya adalah...mengumpulkan budak itu sendiri?
Pada judul-judul seperti Isekai Shihai no Skill Taker ~ Zero kara Hajimeru Dorei Harem~ (異世界支配のスキルテイカー~ゼロから始める奴隷ハーレム lit. Skill Taker’s World Domination ~ Building a Slave Harem from Scratch ) atau Isekai Meikyuu De Dorei Harem wo (異世界迷宮で奴隷ハーレムを lit. Slave Harem in the Labyrinth of the Other World) motivasi utama sang tokoh utama setelah pindah ke dunia dengan literally infinite possibilities adalah...mengumpulkan slave harem sebanyak-banyaknya. Judul-judul macam ini seringkali punya depiction sexual activities yang teramat gamblang karena itulah tujuan sang tokoh utama secara umum. Saat dibaca, cerita macam ini lebih mirip dengan cerita smut yang kebetulan settingnya ada di dunia fantasi. Selain itu, biasanya ceritanya lebih mirip slice of life yang tidak ada juntrungannya, yang penting maksiat jalan terus. Pada kasus Isekai Meikyuu De Dorei Harem wo misalnya, meskipun ada 1 dungeon yang tokoh utama dan para budaknya ingin taklukkan, core loop yang sebenarnya adalah bagaimana cara tokoh utama mengumpulkan resource untuk nantinya menambah slave perempuan dari berbagai ras fantasi yang berbeda ke dalam haremnya.
Varian lainnya adalah Isekai Maō to Shōkan Shōjo no Dorei Majutsu (異世界魔王と召喚少女の奴隷魔術 lit. How Not to Summon a Demon Lord). Pada judul ini, sang tokoh utamalah yang dipanggil ke dunia fantasi sebagai untuk patuh pada summonernya sebagai budak, namun karena terlalu OP, si mantranya malah mental sehingga tokoh utama kita jadi punya 2 slave. Cerita ini, seperti benih jagung BISI-2 adalah cerita yang juluki tipe hibrida. Meskipun akhirnya sang kedua slave ini jadi bagian dari haremnya tokoh utama, tapi si tokoh utama punya tujuan dalam perjalanannya. Dan tujuannya adalah...membebaskan kedua summonernya ini dari magic yang membuat mereka jadi budak.
Pada cerita isekai macam yang barusan disebutkan, setiap karakter perempuan yang adalah slave dari tokoh utama punya submisi penuh terhadap sang tokoh utama karena posisi mereka sebagai slave baik itu secara status sosial (diperjual belikan di slave market) atau karena magic shenanigans. Tsundere sedikit kadang-kadang ada lah. Atau dilema moral tapi toh tubuhnya tidak bisa menolak. Convenience nampaknya menjadi kata kunci dari cerita isekai modern ini karena dalam tipe – tipe isekai macam ini, lagi-lagi secara convenient slave yang disukai tokoh utama akan masuk ke haremnya. Tidak ada will they won’t they atau drama atau character arc yang diperlukan. Karena apabila menyerahkan consent atas cinta, tubuh dan jiwanya pada sang majikan adalah kewajiban yang sudah dikondisikan pada mereka baik secara teks maupun secara meta-narrative, maka hal apalagi yang perlu digali? Cerita macam ini biasanya ada in service of kinks, baik itu milik penulisnya atau target pembacanya, dan tidak sebaiknya dicari jika pembaca mau mencari kisah romance fantasi yang megah ataupun rumpun.
Baggage of Reality
Ketika kontroversi Shield Hero terjadi agaknya beberapa circumstances harus disadari sebagai faktor penyebabnya. Yang pertama, anime baru jadi hip lagi. Jumlah penonton anime global sedang steadily rising berkat berbagai streaming platform, orang membuka sosial media untuk menulis tentang apa yang mereka tuliskan. Kedua, slavery bukan isu yang mudah diterima orang banyak, apalagi kalau leluhur atau nenek moyangnya atau bahkan bagian dari kerabatnya pernah punya sejarah yang kelam sebagai korban perbudakan. Entah itu jadi bagian dari atlantic slave trade, atau jadi bagian dari camp konsentrasi, atau yang negaranya pernah dijajah negara lain (seperti Indonesia). Kombinasi kedua faktor ini menyebabkan outrage yang saya rasa amat sangatlah wajar.
Saat menyimak slavery di cerita – cerita fantasi pre-isekai yang beberapa contohnya sudah saya sebutkan tadi, protagonis dari cerita yang kita ikuti tidak pernah bertindak sebagai instigator, atau pembeli, atau slave owner. Malah tidak jarang mereka bertarung untuk menghentikan perbudakan. Tokoh utama kita tidak akan pernah melewati garis itu untuk berpartisipasi di the wrong side of history. Berbeda dengan cerita-cerita isekai dimana protagonis, apapun itu justifikasi tekstualnya, adalah seorang slave owner. Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa di dunia nyata perbudakan adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan dan ilegal. Artikel no.4 dari Universal Declaration of Human Rights berbunyi demikian: “no one should be held in slavery or servitude, slavery in all of its forms should be eliminated.”. Baggage macam inilah yang ditanggung oleh seri-seri isekai yang memasukkan slavery sebagai komponen ceritanya.
Ada satu trik yang sering diulang – ulang oleh hampir seluruh penulis isekai yang tokoh utamanya adalah seorang slave owner. Trik ini sering saya sebut “politik meja makan”. Di trik ini, saat pertama kali si tokoh utama makan bersama budaknya, maka mereka akan diajak untuk makan di meja yang sama. Setelah itu budaknya akan keheranan karena sudah lama tidak diperlakukan seperti manusia. Lalu sang protagonis akan bilang jangan khawatir karena mereka tidak akan diperlakukan sebagai budak melainkan sebagai teman dan seterusnya. Hampir semua judul isekai melakukan ini. Saat sang budak diajak makan di meja yang sama, diperlakukan dengan baik, dibelikan equipment yang mahal, apakah ini ini berarti tindakan sang tokoh utama sebagai pelaku aktif perbudakan menjadi oke? Apabila seluruh slave master in universe adalah orang baik, apakah ini berarti perbudakan boleh diperlakukan sebagai hal yang lumrah dan tidak ada mudharatnya bagi siapapun? Apakah gestur-gestur handwaving seperti ini adalah legitimasi dari tindakan perbudakan itu sendiri?
Sejatinya, saya rasa solusi mujarab dalam menyikapi cerita cerita isekai adalah dengan memperlakukan hubungan slave-master seperti kink saja agar kepala tidak pecah saat membaca atau menontonnya. Dan saya rasa itu juga yang ingin di-establish seri-seri isekai yang menggunakannya. Mereka ingin, agar kita yang membaca atau menontonnya, at best membaca dinamika karakternya seperti bos dan anak buahnya, dan at worst seperti hubungan slave-master di relasi BDSM. Sayangnya sulit sekali untuk bisa melakukan demikian karena mereka sendiri half-assing it. Worldbuilding logic di dunia mereka sendiri mengatakan bahwa ini adalah isu institusional. Bahkan mereka sendiri kadang secara teks mengamininya. Tapi lalu kita disuruh untuk jangan terlalu memikirkannya terlalu dalam. Jika demikian sulit untuk bisa mengejahwantahkan isu sosial yang sulit macam ini, maka kenapa menggunakannya in the first place. Apakah harus banget sang penulis menggunakan perbudakan sebagai komponen dari plotnya saat isu yang berani (atau memang penulisnya saja yang kurang jago) disentuh hanya sebatas transaksional dan tidak institusional? Sebaik-baiknya Shield Hero dalam menjelaskan dan mengontekstualisasikan segala macam alasan dengan worldbuilding dan dinamika antar karakternya (yang sesungguhnya saya pribadi anggap addresing isu berat ini well enough sebagai salah satu yang terbaik yang pernah saya baca), pertanyaannya tetap sama. Mengapa harus perbudakan?
Belum lagi cerita-cerita dimana sang budak juga dijadikan...wahana pelampiasan nafsu seksual sang majikan. Jujur saya sendiri sangat tidak nyaman membaca cerita macam ini dan kalau memang tidak ada main plot menarik di dalamnya biasanya seri-seri macam ini akan saya drop saja. Ditambah Jepang punya track record sangatburuk tentang ini. Sejujurnya saya sendiri merasa cerita macam inilah yang sejatinya lebih mudah ditreat sebagai kinks saja. Penulisnya biasanya lebih punya self-awareness terhadap apa yang dia tumpahkan ke ceritanya. Bahwa ini memang tolol dan tidak serius samasekali. Ini cabul for the sake of being cabul saja. Oleh karena itulah, saya rasa lebih cerita-cerita macam ini lebih dekat ke cerita-cerita porno yang genrenya fantasi daripada isekai itu sendiri.
Kita secara kolektif harus tahu benar cerita macam ini memang punya komponen yang bermasalah, sehingga akan sangat sulit to get through bagi masyarakat umum, tidak seharusnya direkomendasikan ke siapapun, dan saat ada outrage yang terjadi karenanya itu justru adalah hal yang lumrah.
Youtuber Pause and Select pernah melakukan wawancara dengan penulis salah satu manga Isekai bersubgenre tensei (cerita dimana karakter utama terlahir kembali di dunia fantasi instead of terpanggil atau tidak sengaja pindah dimensi) berjudul Re:Monster. Sedikit cerita, Re:Monster adalah cerita isekai narou-kei yang emblematik dengan seluruh isu yang kita sering temui pada cerita-cerita narou-kei (meskipun power fantasy-nya sejujurnya menarik). Teks lengkap wawancaranya dapat dibaca disini. Mengutip wawancara ini menyoal slavery, inilah yang disebutkan oleh sang penulis :
‘’ Why do you think many narou-kei invoke slavery and rape?
To some extent, I think it’s a template of sorts. Again, it’s absolutely pointless in real life, but if you talk about the imaginary, it can become something of a fascinating space to work with.
I mean, while magic and magical systems can vary, a slave can’t betray you, so the character is quite easy to manage. So when you’re sent to another world where the conditions of living are completely different (such as in tensei), having an ally is important.
That said, you might need a character you’re willing to betray, because even if you don’t actually betray them, there’s an emotional cost associated with it.
Dari jawaban diatas, takeaway saya adalah isekai menggunakan slavery karena mudah. Mudah dalam melakukan setup cerita karena semua sudah punya baseline yang sama. Penulis diperlengkapi dengan pengetahuan bahwa perbudakan itu salah, pengetahuan bahwa pembaca pasti akan bersimpati pada sang budak, atau sayangnya, pengetahuan bahwa pembaca sudah terbiasa dan desentisized dengan trope macam ini. Yang kedua, convenience dalam melakukan manajemen karakter. Agak lucu ketika penulis kurang fasih atau memang malas saja mereka justru memilih elemen plot yang paling susah dijelaskan dan dijustifikasi untuk digunakan secara kasual. Saya rasa ini jawaban yang kurang sopan bagi mereka yang punya sejarah dan plight akibat slavery. Rekonsiliasi dari isu ini butuh waktu ratusan tahun dan bahkan sampai sekarang masih banyak yang haknya terinjak-injak karena memang isu isu institusional tidak akan sembuh semudah dan secepat operasi cantengan.
Lagi-lagi pertanyaannya adalah, apabila untuk kemudahan belaka, apakah dan mengapakah harus slavery?
Otaku blogger, frog-kun pernah menemukan sebuah tulisan pendek menarik di Shousetsuka ni Narou, lalu mentranslasikannya ke Bahasa Inggris. Tulisan lengkapnya dapat dibaca disini. Poin yang dibuat sangat mirip dengan apa yang dituliskan diatas. Lagi-lagi for the sake of convenience dan memenuhi pakem writing formula. Tulislah apa yang pembaca sudah tahu. Namun takeaway lain yang menarik disini adalah fakta bahwa Shousetsuka ni Narou itu sendiri adalah platform untuk para penulis amatir. Saat tulisannya jadi populer dan sampai dipick-up oleh publikasi besar sekalipun, bukan berarti tulisannya bagus dan penulisnya handal. Sejujurnya saya sendiri kurang oke dengan kedua (baik dari hasil wawancara Pause and Select, maupun translasi frogkun) jawaban ini, karena saya merasa ini menyepelekan hal yang seharusnya tidak sepele. Meskipun ada sedikit celah maaf karena kedua jawaban ini masih dibuat dengan kesadaran untuk tidak meminta kisah-kisah power fantasy isekai untuk dianggap serius, saya rasa tidak semudah itu bagagge sebesar ini bisa ditaruh di bawah bantal dulu sampai sesi membaca atau menonton kita kita selesai. Membunuh empati pun saya kira tidak bisa sesimpel itu.
Saat kita membaca isekai, siapakah sebenarnya yang sedang kabur? Apakah kita yang deepest darkest fantasy-nya terpuaskan saat membacanya? Ataukah sang penulis yang bisa literally menulis apapun se-depraved dan politically incorrect apapun itu? Ataukah sang tokoh utama dari cerita? Yang biasanya digambarkan sebagai sosok everymen, representasi dari pria modern yang akibat kapitalisme, terikat oleh pekerjaan dan ekspektasi dan seluruh bondage yang mengikat mereka ke kursi mereka untuk terus bekerja sebelum akhirnya mati karena kelelahan? Lalu kabur ke dunia fantasi untuk bisa melakukan apapun yang mereka inginkan.
Menyedihkan dan sangat ironis rasanya apabila demi memenuhi kebutuhan untuk kabur, ada yang kemerdekaan serta hak-haknya harus dirampas, dan atau sejarahnya terpaksa diperlakukan dengan kurang hormat. Saat itu terjadi maka yang harus kita tanyakan sebenarnya mungkin adalah...apakah kebebasan yang dijanjikan pada kita ini sepadan?
Demikian akhir dari Buletin Seguecast edisi ketiga ini.
Masih perlu alasan untuk prokrastinasi? Jangan khawatir, ada sekitar 18 jam konten podcast yang bisa kalian dengarkan sebagai background noise atau pengusir serangga di official Youtube channel Seguecast.
Apabila pembaca sekalian tertarik untuk menjadi penulis kontributor di salah satu edisi Buletin Seguecast, silakan hubungi kami langsung dengan mampir di official Facebook Seguecast.
Takut kelewatan Buletin Seguecast edisi berikutnya? Follow official Twitter Seguecast yang hampir tidak pernah ngetwit apa-apa selain update buletin!
Akhir kata, apabila selama membaca segmen di atas teman-teman merasa kesal dan ingin meluapkan amarah, kami menyarankan untuk membagikan Buletin Seguecast edisi ini dan mengumumkan borok-boroknya tulisan kami dengan tombol share di bawah ini:
Sampai jumpa di edisi 3 (bagian 2)!