Buletin Seguecast #02 - 8 Maret '21
Keniscayaan di dunia ini yang sudah saatnya kita pertanyakan kebenaran-nya: apa "Gotta"-kah kita "Catch 'Em All"?
Selamat datang di Buletin Seguecast, buletin mengenai budaya populer oleh orang-orang tidak populer. Buletin ini adalah proyek baru segenap kru Seguecast untuk menjawab sebuah pertanyaan yang kerap dilontarkan orang-orang: “Apaan sih?” Apabila teman-teman pembaca sekalian ditanyakan pertanyaan ini di masa depan, jawablah dengan suara yang lantang dan niat yang suci: Buletin Seguecast.
Sesuai ucapan delta minggu lalu, adalah benar bahwa edisi kedua ini berisi tulisan saya, Seigi! Erm, memang di kata pembuka buletin minggu lalu delta menyebut saya sebagai resident historian Seguecast (debatable), tapi sayangnya kali ini saya malah ingin menulis tentang subyek yang sebenarnya saya tidak fasih-fasih amat tapi dekat dengan hati saya dan semua orang: Pokémon.
Agaknya topik yang satu ini belakangan menuai kontroversi, jadi bila sekiranya opini yang tertulis di buletin ini menuai amarah dan keinginan untuk bertukar pikiran para pembaca sekalian, mohon kesediannya untuk menekan tombol di bawah ini untuk mendapat asupan opini kontroversial untuk disanggah mingguan Anda. Kami di Seguecast cukup mengerti bahwa di masa modern ini orang-orang login ke internet lebih untuk mengkonsumsi hot takes ketimbang gambar hot.
Baik untuk mengisi waktu luang maupun prokrastinasi, semoga teman-teman sekalian yang nyasar ke laman buletin ini tidak menyesal dan dapat menemukan sesuatu yang cukup berfaidah sebagai ganti dari waktunya. Selamat memulai pekan yang baru!
~ Seigi (menyalin sebagian salam delta dari minggu lalu, if it works why fix it)
Seigi: Apa Yang Sebenarnya Kita Mau dari Game Pokémon?
Sinnoh remakes confirmed!
Open-world Pokémon game confirmed!
Semua yang orang-orang inginkan dari dulu akhirnya jadi kenyataan!
….tapi kenapa jadinya kok pada teriak-teriak dan berantem?
Jujur, saya agak bingung dengan reaksi yang campur-campur ke pengumuman Diamond & Pearl remakes dan Pokémon Legends: Arceus di stream 25 tahun Pokémon minggu lalu. (Sama halnya saya bingung kenapa selebrasi musiknya pakai Post Malone.) Sama halnya dengan reaksi ke Sword/Shield lalu, opini fans Pokémon pada umumnya terbagi ke yang suka dan… katakan saja gak terlalu suka. (Saya jatuh ke tim yang suka.)
Oke, mungkin saya gak se-invested itu di Pokémon untuk bisa punya opini sekuat beberapa yang saya lihat di timeline saya, tapi Pokémon tetap jadi hal yang saya gemari sejak pertama kali main Pokémon Blue pas kecil. Sudah kaya makan burger. Gak bisa saya benci mau gimanapun juga soalnya udah jadi bagian hidup saya. Apapun yang terjadi, burgernya bentuk gimana toppingnya apapun rasanya bakal suka-suka aja karena hey, it’s Pokémon. Dari pengumuman itu, saya dapat apa yang saya mau: game Pokémon baru.
Tapi itu juga membuat saya jadi berpikir, di saat orang-orang akhirnya dapat Diamond & Pearl remakes yang mereka bilang mereka mau namun reaksinya negatif, apa artinya game yang selama ini mereka mau di pikiran mereka dan game yang rilis itu game yang berbeda?
Apa yang penting itu cerita petualangan sebagai Pokémon trainernya? Apa yang penting harus ada dan bisa koleksi semua Pokémon-nya? Apa yang penting bisa battle secara kompetitifnya? Apa yang penting grafis, musik, dan kualitas teknisnya? Ekspektasi tiap orang untuk game Pokémon itu seperti apa? Yang penting harus ada apanya? Harus seperti apa?
Apa sih, yang sebenarnya kita mau dari game Pokémon?
Semakin kesini di tahun ke-25 Pokémon ini saya rasa jawabannya semakin jelas: tiap orang punya keinginan masing-masing game Pokémon impian mereka itu harus seperti apa.Dan rasanya perlu diingat juga kalau Game Freak dan Nintendo selalu mencoba untuk menjawab semua keinginan tersebut di tiap generasi baru game “mainline” Pokémon.
Agaknya akan lebih jelas masalahnya apa bila kita jabarkan satu persatu-satu hal-hal yang “penting” dan “harus” ada di game “mainline” Pokémon:
Harus ada Pokémon-nya: Tentu saja.
Harus ada banyak Pokémon barunya untuk dikoleksi DAN harus bisa menampung semua Pokémon yang sudah ada.
Harus rilis generasi baru kurang lebih tiap 3 tahunan sekali dengan dua versi sekaligus: Gen VI rilis di 2013, Gen VII rilis di 2016, Gen VIII rilis di 2019.
Harus akomodir sistem koleksi dan game design yang sama sejak 25 tahun yang lalu DAN masukin fitur-fitur yang baru ke gamenya.
Harus masuk bagian media mix dan planning franchise media tersukses sepanjang masa: gak boleh terlalu aneh sendiri soalnya bakal jadi blueprint untuk karya di media lainnya.
Harus ada elemen koleksi dan bertarung menggunakan Pokémon-nya.
Harus dibuat oleh Game Freak dan ada di konsol Nintendo.
Harus bisa dimainkan semua orang dari anak-anak ke dewasa dan tetap menarik.
…dan banyak lagi.
Rasanya jadi semakin jelas kalau daftar diatas sama saja dengan daftar limitasi yang dihadapi Game Freak dan Nintendo ketika harus buat game Pokémon baru. Hal ini mulai terasa ketika semua beban tersebut terakumulasi di Sword/Shield lalu dan retakan di formula gamenya selama ini mulai kelihatan.
Trying to please everyone is impossible. Dan masalahnya, itu yang dicoba dilakukan tiap game mainline generasi baru Pokémon. Wajar kalau akhirnya tertekan oleh bebannya, sebagaimanapun sukses franchisenya. Lihat aja Star Wars. Tapi kalau masalahnya adalah gamenya gak kuat menanggung beban harapan tiap orang yang beda-beda tentang game Pokémon itu harus seperti apa, berarti solusinya bisa dari situ: kurangi bebannya atau sekalian bebannya digotong bersama.
Kalau setiap orang punya game Pokémon impiannya masing-masing, sekarang impian itu bisa dijawab dengan berbagai cara. Gak seperti di 1996, sekarang kalau mau main game Pokémon, bisa dibalas dengan “game Pokémon yang mana?”, mulai dari Pokémon GO, Cafe Mix, Sword/Shield, Snap, Pokémon TCG etc. Kalau dengan Pokémon itu cuman menjadi satu hal saja adalah hal yang mengekang franchisenya, berarti Pokémon perlu jadi banyak hal dan berhenti membatasi dirinya jadi hanya Version A saja atau Version B saja. Ada banyak cara untuk bisa enjoy Pokémon, dan game mainline Pokémon tidak harus jadi satu-satunya “definite” Pokémon experience yang ada.
Dan dari segi fans pun, rasanya ada baiknya kita juga jangan terlalu berharap dan menuntut sebegitu berlebihannya game Pokémon itu harus seperti apa. Seperti halnya mengharapkan pasangan kita harus bisa melakukan apapun yang kita mau tanpa terkecuali, akhirnya hanya akan jadi hubungan yang tidak sehat. (Kami di Seguecast selalu meng-advokasi untuk memiliki hubungan yang sehat dengan media apapun kesukaan Anda.)
Kalau hubungannya lagi berasa dingin, bisa coba cara-cara baru untuk menikmati gamenya. Selalu ada hal-hal seperti fangame Pokémon atau berbagai challenge seperti Nuzlocke untuk bisa memainkan game yang ada dengan cara lain. Atau mungkin bila ingin pasangan yang mirip, tapi beda dikit, ada berbagai game Pokémon clone berkualitas diluar sana seperti Temtem. Dan kalau calon pasangan yang baru kurang terlihat menarik dibandingkan pasangan lama, kamu selalu bisa balik dan memainkan Diamond & Pearl yang asli.
Mungkin juga setelah kita coba berbagai hal, tetap rasanya apa yang ditawarkan oleh game Pokémon sudah tidak bisa memenuhi keinginan kita lagi. Kalau sudah seperti itu, mungkin ya memang sudah saatnya putus dan move on. Game Pokémon yang kita mainkan dulu pertama kali tanpa pernah main Pokémon sebelumnya dan game Pokémon yang kita mainkan sekarang itu dua experience yang berbeda, dan tidak akan pernah bisa sebanding. Itu fine-fine saja. Kadang kita tidak bisa dapat apa yang kita inginkan. Kadang yang kita inginkan itu takdirnya jadi kebahagiaan untuk orang lain, dan bukan untuk kita. (Seperti anak-anak yang baru mulai main Pokémon dan karena ada Sinnoh remakes jadinya bisa tahu betapa menyenangkannya Diamond & Pearl untuk pertama kalinya.)
Mungkin apa yang kita mau dari game Pokémon tidak harus kita dapatkan dari game Pokémon itu sendiri. Masih ada banyak game bagus diluar sana, dan lebih sering diskon soalnya bukan game Nintendo.
Terakhir, cuman mau menambah sedikit soal kalau menurut saya apa satu lagi long-running franchise yang core gameplay & overall game design-nya tetap sama sejak dulu, dan bisa jadi contoh Pokémon kedepannya: Dragon Quest.
Dragon Quest XI S memiliki grafis 3D yang polished, overworld full 3D yang bisa dijelajahi, dan aspek game modern seperti elemen open-world. Tapi pemain juga dapat memilih untuk memainkan seluruh gamenya dalam mode 2D seperti berikut:
Jelas hal seperti ini butuh usaha yang sangat tinggi, dan tantangan development Dragon Quest jauh berbeda dari Pokémon. Tapi hasilnya adalah game dari franchise berumur 30+ tahun yang penuh inovasi tapi tetap menggunakan apa yang menjadi fondasi gamenya yang dapat menyokong gamenya selama ini, dan dapat berdiri disamping rilisan game baru dengan konsep yang berbeda tapi tetap berasa “Dragon Quest” seperti Dragon Quest Builders.
Agaknya Pokémon perlu menilik apa yang sebenarnya jadi fondasi game Pokémon, melepas yang mungkin tidak perlu, dan fokus berkembang dari situ untuk langkah kedepannya.
delta: Sebuah Pengingat Bahwasanya kita Langganan Spotifai, bukan Langganan Musik
Tepat pada tanggal 1 Maret kemarin, sebagian besar dari katalog musik Korea di aplikasi streaming musik Spotify mendadak lenyap tanpa peringatan seakan terkena jentikan jari Thanos. Satu hal yang menarik (namun tidak mengagetkan) adalah identitas penyebab bencana skala global ini. Seperti yang pembaca sekalian sudah tebak, huru-hara ini tentu saja disebabkan oleh teman lama kita: kapitalisme.
Berikut sekelibat konteks agar buletin ini tidak disalahsangkakan sebagai media propaganda sosialisme:
Tepat di awal Februari 2021 kemarin, Spotify resmi meluncur di Korea Selatan. Selintas mungkin lumayan mengejutkan bahwa Korea Selatan baru membuka pasar streaming-nya untuk Spotify sekarang (Jepang saja sudah menerima Spotify dari 2016—meskipun hal ini mungkin karena dulu mereka tidak menganggap serius bisnis streaming musik), namun teman-teman yang cukup fasih dengan skena musik Korea tentunya tahu bahwa streaming di Korea sudah didominasi platform-platform lokal, terutama satu yang bernama MelOn.
Pemahaman atas kuatnya posisi MelOn dan platform sejenisnya baiknya tidak hanya ditilik dari tingginya metrik-metrik bisnis seperti market share, daily active user, dan hal membosankan berbau start-up lainnya. Hal yang mungkin lebih menunjukkan betapa tertancapnya mereka dalam budaya musik populer Korea Selatan adalah sistem All-kill dan segala macam variannya yang membuat pencapaian mendaki puncak tangga lagu terasa setidaknya 3.14x lebih keren dan lebih berdarah-darah. Tanpa pemahaman konteks Certified All Kill terdengar seperti sesuatu yang lebih pantas disematkan ke pembunuh profesional daripada grup berisi mbak-mbak/mas-mas lucu yang menyanyi dan menari.
Dalam iklim kompetisi semacam inilah Spotify akhirnya masuk di awal Februari. Tepat satu bulan setelahnya, Spotify dan Kakao M, perusahaan pemilik lisensi distribusi musik-musik yang menghilang di Spotify dan pemilik streaming platform MelOn, sama-sama mengkonfirmasi bahwa perjanjian lisensi global (negara luar Korea Selatan) untuk semua musik yang lisensinya dipegang Kakao M tidak diperpanjang (FYI, Spotify Korea juga tidak mendapat lisensi lokal sama sekali dari awal). Tentu saja seperti break-up tidak sehat pada umumnya, baik Spotify dan KakaoM saling menyalahkan satu sama lain.
Saat ini tidak ada dasar untuk mengetahui secara pasti kenapa perjanjian lisensi ini tidak diperbarui. Tentu saja ujung-ujungnya, sih, pasti uang. Salah satu kemungkinan adalah mulai goyahnya posisi MelOn beberapa bulan ke belakang. Kemungkinan lain adalah Kakao M mulai melirik ekspansi keluar Korea Selatan. Korea Selatan sekarang merupakan pasar musik terbesar ke-6 di dunia; dengan keberhasilan grup seperti BTS dan Blackpink di pasar global, hak tunggal distribusi musik Korea sekarang jauh lebih berharga dari 3-5 tahun ke belakang.
Namun satu-satunya hal yang perlu disadari dan diresapi kurang lebih dapat ditemukan dari kicauan salah satu musisi sohor skena hip-hop Korea Selatan, Tablo (Epik High):
Apparently a disagreement between our distributor Kakao M & Spotify has made our new album Epik High Is Here unavailable globally against our will. Regardless of who is at fault, why is it always the artists and the fans that suffer when businesses place greed over art?
— 에픽하이 타블로 | Tablo of Epik High (@blobyblo) February 28, 2021
Pada akhirnya semua kericuhan antar korporasi besar ini paling terasa merugikan bagi musisi dan penikmat musik. Tanpa ada sedikitpun pemberitahuan, pelanggan Spotify yang sangat mungkin berlangganan dapat kehilangan akses ke musik-musik yang bisa jadi merupakan satu-satunya alasan mereka mulai berlangganan. Kerugian disini pun tak melulu harus bersifat materiil. Bagi tak sedikit orang, musik dari musisi favorit mereka merupakan bagian dari identitas dan keseharian hidup. Cukup mengesalkan rasanya kalau suatu hari semua musik tersebut ditarik secara sepihak karena korporasi-korporasi besar ingin menarik sedikit lebih banyak untung.
Kalau begitu, bagaimana kondisi seharusnya? Idealnya musisi harus punya kendali penuh terhadap distribusi musik mereka; setidaknya hak distribusi musik tidak boleh dimonopoli oleh satu korporasi besar—saat ini Epik High berhasil mengembalikan musik mereka ke Spotify melalui distributor lain, go listen to their new album it’s great.
Perlu ada platform dengan tingkat aksesibilitas semacam Spotify (dan dengan profit sharing jauh lebih baik dari Spotify) yang beroperasi tidak dengan model bisnis langganan tapi jual-beli musik (Bandcamp mungkin?). Namun melihat betapa ruwetnya peraturan dan proses lisensi/copyright musik saat ini, agaknya masa depan ideal semacam itu masih belum bisa terlihat. Opsi paling baik untuk penikmat musik saat ini adalah dengan selalu membeli physical release kalau bisa.
Jangan lupa bahwasanya saat ini kebanyakan kita berlangganan Spotify, bukan berlangganan musik.
Sekelebat Racauan
Salah satu hal yang tadinya ingin ikut dibahas di atas tapi kepalang panjang adalah umpan keributan tentang K-Pop vs J-Pop. Menurut artikel WSJ dengan judul sensasional ini, AEG, perusahaan promotor konser yang menangani ekspansi BTS dan Blackpink di pasar AS, baru saja mendirikan sebuah joint venture dengan Avex. Apakah mereka memang percaya J-Pop bisa sesukses K-Pop di mata internasional? Atau mereka cuma ingin kecipratan uang dari skena konser industri musik Jepang yang super cuan dengan membawa artis-artis luar masuk?
Masih mengenai topik di atas, rasanya saat ini skena musik Jepang ada di titik dimana figur-figur pentingnya (yang kebanyakan muncul dari skena Nico Nico Douga mengikuti nabinya Kenshi Yonezu) hampir konvergen dengan satu industri Jepang lain yang selalu terdepan dalam ekspansi global: Anime, Manga, and 2D stuffs (e.g. Yoasobi menyumbang OST Beastars, Eve menyumbang OST Jujutsu Kaisen, demam virtual youtuber yang salah satu kegiatan intinya adalah cover lagu). Mempertimbangkan faktor-faktor X lain seperti TikTok (Stay With Me tiba-tiba meledak setelah sekian puluh tahun), rasanya tinggal menunggu satu-dua insiden viral aneh lagi hingga musik Jepang bisa mulai diterima khalayak global. Entahlah.
Produser variety/reality idola saya, Jung Jeon-yeon (The Genius, Society Game, Great Escape) saat ini sedang punya acara ongoing bertemakan misteri, sekolah, dan konspirasi berjudul Girls' High Mystery Class. Kabar baiknya adalah acaranya akan tayang dan bisa ditonton secara legal di TvN Asia mulai akhir pekan ini. Teman-teman yang senang main escape room saya jamin 99.9% akan suka, jadi jangan ketinggalan!
Coral Island, game farming-sim dari developer lokal Surabaya Stairway Games, baru menyelesaikan Kickstarter dengan jumlah dana galangan yang sangat bombastis: $1,639,368!!! Dengan kesuksesan tanpa preseden ini segenap kru Seguecast berharap gamenya dapat diselesaikan dengan lancar, selamat!
Demikian akhir dari Buletin Seguecast edisi kedua ini.
Masih perlu alasan untuk prokrastinasi? Jangan khawatir, ada sekitar 18 jam konten podcast yang bisa kalian dengarkan sebagai background noise atau pengusir serangga di official Youtube channel Seguecast.
Apabila pembaca sekalian tertarik untuk menjadi penulis kontributor di salah satu edisi Buletin Seguecast, silakan hubungi kami langsung dengan mampir di official Facebook Seguecast.
Takut kelewatan Buletin Seguecast edisi berikutnya? Follow official Twitter Seguecast yang hampir tidak pernah ngetwit apa-apa selain update buletin!
Akhir kata, apabila selama membaca segmen di atas teman-teman merasa kesal dan ingin meluapkan amarah, kami menyarankan untuk membagikan Buletin Seguecast edisi ini dan mengumumkan borok-boroknya tulisan kami dengan tombol share di bawah ini:
Sampai jumpa di edisi 3!