Selamat datang di Buletin Seguecast, buletin mengenai budaya populer oleh orang-orang tidak populer. Buletin ini adalah proyek baru segenap kru Seguecast untuk menjawab sebuah pertanyaan yang kerap dilontarkan orang-orang: “zaman sekarang apa sih yang gratis?” Apabila teman-teman pembaca sekalian ditanyakan pertanyaan ini di masa depan, jawablah dengan tekad yang bulat dan hati yang bersih: Buletin Seguecast.
Di edisi perdana ini, saya menulis sebuah rant singkat mengenai huru-hara media sosial di minggu ini. Selain itu agar buletin ini tidak disalahsangkakan sebagai media gosip, siswa menulis sebuah ulasan singkat mengenai game terbaru perusahaan Vanillaware, 13 Sentinels: Aegis Rim. Jangan khawatir, resident historian Seguecast, Seigi memang tidak menyumbang tulisan kali ini. Namun, dengan menekan tombol ajaib di bawah teman-teman akan mendapatkan notifikasi untuk edisi-edisi selanjutnya yang mungkin akan berisi tulisan Seigi.
Baik untuk mengisi waktu luang maupun prokrastinasi, semoga teman-teman sekalian yang nyasar ke laman buletin ini tidak menyesal dan dapat menemukan sesuatu yang cukup berfaidah sebagai ganti dari waktunya. Selamat memulai pekan yang baru!
~ delta
delta: Horimiya dan Warisan Romansa Tulisan Timur
Awal minggu kemarin, linimasa kolektif penikmat budaya populer Indonesia sempat diramaikan oleh sebuah post reaksi Horimiya. Postnya tidak ditautkan kesini karena Seguecast peduli pada pembaca sekalian, namun berikut deskripsi singkatnya: Hori yang baru saja melakukan hubungan seks konsensual di episode paling baru Horimiya diberikan caption ‘Murahan Beneran’. Di sebelahnya, Tsukasa (Tonikaku Kawaii) disandingkan sebagai kontras dengan caption ‘Murahan Bohongan’; agaknya karena sampai saat ini dia belum memiliki hubungan fisik meskipun diceritakan telah menikah.
Sekilas, keributan ini bisa—dan mungkin akan lebih produktif bila—kita abaikan dan tertawakan sebagai luapan frustrasi remaja insel Indonesia yang keukeuh memproyeksikan keinginan dan superioritas moralitasnya kepada animasi 2D. Namun, apabila kita berhenti sejenak untuk berusaha menerawang asal sentimen-sentimen ajaib ini niscaya jawabannya tidak akan sederhana-sederhana amat. Bahkan sebenarnya, ada porsi dosa yang datang justru dari teks-teks roman Jepang masa lampau.
Bayangan penikmat manga generasi saya ketika membicarakan cerita roman kurang lebih rasanya akan berputar di progresi macam berikut:
Lelaki dan perempuan berkenalan
Salah satunya jatuh cinta
?????berbagaimacamkesalahpahamandaninsidentidakperlu?????
Akhirnya berkomunikasi seperti manusia normal
Setuju untuk menjalin hubungan
TAMAT
Saking familiernya progresi ini kita tidak pernah membayangkan untuk bertanya kenapa ceritanya tamat ketika hubungannya baru dimulai. Nyatanya, ada istilah yang dapat kita pakai untuk genre romansa seperti ini: Junai (translasi Indonesia: cinta f̶i̶t̶r̶i̶ murni). Mengutip salah satu Youtuber favorit Seguecast, Pause and Select, di videonya mengenai Tonikaku Kawaii, dalam konteks genre, Junai adalah:
…sebuah genre yang berfokus pada perkembangan dari sebuah hubungan percintaan.
Garis bawah dan huruf tebal di kata perkembangan. Seperti yang dijelaskan oleh pembimbing ospek saya dulu: "Yang penting prosesnya, dek, bukan hasil!"
Meskipun Junai terhitung bukan genre baru (teks-teks penting Junai muncul di tahun 2000-an), DNA-nya masih cukup hidup pada produk-produk roman zaman sekarang. Sebut beberapa anime/manga romance beberapa tahun ke belakang: Kanojo, Okarishimasu; Gotoubun no Hanayome; Koe no Katachi; Nisekoi. Terutama untuk demografi shounen, Junai masih merupakan pakem tried-and-true untuk menghasilkan produk besar. Pemikiran bahwa cinta yang sejati haruslah murni, agung, dan tidak ternoda agaknya memang cukup mengakar dalam kesadaran kolektif kebanyakan kita. Ternoda dari apa? Bila kita runut kembali dari contoh progresi Junai di atas, jawabannya ternoda dari semua hal menyusahkan yang terjadi setelah hubungan resmi terjalin seperti perseteruan domestik dan tentunya seks.
Menyimpang sedikit dari Junai, kalau kita coba tarik lebih jauh sebenarnya mentalitas ini bukan merupakan produk impor ekslusif teks-teks Jepang, terutama belakangan ini. Buktinya bisa didapat dengan melirik beberapa judul-judul definitif Drama Korea roman beberapa tahun ke belakang. Hal lain yang menarik untuk diperhatikan adalah produk-produk budaya Barat tidak hanya jauh dari Junai, tapi juga sepertinya memiliki semacam freepass untuk menjadi lebih liberal dalam eksplorasi topiknya. "Budaya Barat bukan budaya kita", atau semacam itu. Kalau harus menebak dalam gelap, penelusuran garis keturunan Junai kemungkinan besar akan membawa kita ke beberapa nilai utama budaya Timur.
Dengan demikian kejadian dimana remaja Asia Tenggara yang sudah terkondisikan dengan mentalitas Junai merasa dikecewakan oleh Horimiya—yang sebenarnya, seperti dibahas di video di atas dan episode Valentine Seguecast kemarin, lumayan satu aliran dengan Tonikawa: subversi dari trope Junai—merupakan sebuah keniscayaan, alih-alih sebuah keanehan. Fakta bahwa post biang kerok semua kegegeran ini mengkontraskan Horimiya dan Tonikawa, 2 teks yang sebenarnya bisa dibaca sebagai hal yang sama, juga merupakan suatu penanda yang sangat jelas mengenai faktor apa yang sebenarnya jadi masalah si empunya: pernikahan dan hubungan seksual.
Ada konteks lebih yang bisa ditarik dari fakta bahwa semua kehebohan ini terjadi di ruang diskusi media sosial Indonesia. Tidak usah berpikir terlalu dalam untuk menyadari seberapa obsesif otoritas moral negara ini mengenai kontrolnya atas selangkangan manusia, meski cuma di atas kertas. Kombinasi sensor pikiran atas semua hal yang berhubungan dengan seks, fiksasi berlebihan terhadap pernikahan, dan aktivitas hormon berlebih lelaki puber pada akhirnya menyebabkan penyalahgabungan konsep pernikahan dan hubungan seksual. Tidak boleh seks sebelum menikah, makanya menikah kalau mau seks. Penempatan seks sebagai tujuan akhir nan agung setiap hubungan antarmanusia inilah, ditambah dengan mendarahdagingnya mentalitas Junai di teks-teks romansa timur, yang menyebabkan kegaduhan kemarin.
Tak terbayangkan sebelumnya kalau Horimiya, salah satu primer cerita cinta remaja yang paling sehat, hangat, dan membahagiakan di era ini masih saja kena opini-opini ajaib entah darimana. Pesan moral segmen saya hari ini ada 3:
Sekarang saat yang tepat untuk mulai membaca Horimiya karena serialisasinya akan segera tamat. Baca Horimiya.
Tonton/subscribe Pause and Select.
Tonton/subscribe Seguecast.
Sekian.
Sekelebat Racauan
Serial baru kesayangan saya di Jump, Undead Unluck, baru merilis chapter ulang tahun pertama di edisi kemarin! Selain chapter 52 sendiri yang isinya merupakan sebongkah saripati emosi, banyak sekali hal baik dan menarik yang bisa dibongkar dari manga ini. Isi UU sejauh ini adalah potensi power system HxH ditambah potensi writing One Piece dimampatkan ke dalam kaleng berukuran 52 chapter. Semoga niat menulis saya untuk serial satu ini cepat dicukupkan.
Banyak sekali musik bagus yang baru rilis akhir-akhir ini tapi sebagai fanboy YUI saya ingin mempromosikan EP barunya, 「NATURAL」, yang berisi re-recording 7 single lamanya sebelum hiatus permanen. Bayangkan rasanya bergelung di selimut yang baru dijemur di musim panas; experience mendengarkan EPnya kurang lebih seperti itu.
Merasakan FOMO karena sampai sekarang belum ikut jual-beli saham? Anda tidak sendiri! Bermunculannya retail trader baru akhir-akhir ini ternyata tidak cuma terjadi di Indonesia karena anjuran Yusuf Mansur; episode minggu kemarin Running Man di SBS literally hanya berisi jual-beli saham bohongan. Yang lumayan menggelitik adalah di awal episode, ada sekian belas detik segmen mengingatkan penonton bahwa strategi investasi di acara tersebut tidak untuk ditiru. Terimakasih SBS.
~ delta
siswa: 13 Sentinels dan Story Tropes Yang Menyelamatkan Dunia
WARNING : contains light spoilers
Bahkan dari premis utamanya, 13 Sentinels : Aegis Rim adalah sebuah game yang amat-sangat tropey.
13 pemuda yang bisa mengendarai robot raksasa harus bertarung bersama untuk mengalahkan monster yang mencoba menginvasi bumi. Diluar angka 13 yang spesifik, premis tersebut bisa digunakan untuk mendeksripsikan beragam judul media, terutama yang datang dari Jepang. Di Jepang, pemuda dan robot adalah kombinasi yang sudah teruji. Sayangnya tidak semua kombinasi tersebut bekerja seperti Tsubasa dan Misaki atau Broery Marantika dan Dewi Yull. Kadangkala, yang kita dapatkan adalah LA Lakers dengan Kobe Bryant, Dwight Howard dan Steve Nash. Sesuatu yang diatas kertas harusnya sangat kuat, malah ble’e karena ternyata tidak handal memadupadankan masing-masing komponennya.
Untunglah 13 Sentinels tidak jadi seperti itu. Selama hampir 40 jam + memainkannya, 13 Sentinels adalah salah satu pengalaman naratif paling gila dan menyenangkan dari seluruh media yang saya pernah konsumsi. Yang paling kuat dari 13 Sentinels? Bukan robot-robot raksasa yang bisa mengentaskan ratusan monster dalam satu serangan jawabannya. Melainkan bagaimana 13 Sentinels menggunakan trope dengan sangat baik dan efektif dalam menjahit narrative experience-nya
Salah satu hal yang saya hampir selalu lakukan dalam menelaah media yang saya konsumsi adalah memperhatikan story tropes apa saja yang seorang penulis pakai dan seberapa handal dia menggunakannya. Penulis yang baik menyadari bahwa trope adalah alat dan bukan tujuan dari bercerita itu sendiri. Inilah yang membedakan ratusan judul isekai medioker yang lalu jadi sering tertukar satu sama lain dengan KonoSuba, misalnya. Meskipun keduanya punya bahasa visual dan convention yang serupa. KonoSuba jauh lebih populer karena penulisnya, Natsume Akatsuki, punya pemahaman yang jauh lebih baik atas story trope yang ditemui dalam literatur genre fantasi. Karena itulah, dia mampu menggunakan, membalik, mencampur, dan mengolah trope tersebut agar apa yang dia tulis jadi jauh lebih mengesankan.
Selain itu, dengan memerhatikan trope macam apa yang digunakan seorang penulis dan bagaimana dia menggunakannya, kita juga dapat mengetahui literatur lain yang disukai oleh penulis, dan bagaimana hal tersebut dapat memengaruhi cerita. Mengetahui bahwa One Punch Man atau My Hero Academia dipengaruhi oleh american superhero comics atau amecomi, menambahkan layer konteks terhadap 2 karya tersebut. Keduanya jadi karya yang menarik karena meskipun keduanya punya DNA yang sama, sensibilitasnya keduanya sangat berbeda. Baik itu terhadap satu sama lain, maupun dengan amecomi itu sendiri.
Inilah yang sangat bisa dirasakan selama memainkan 13 Sentinels. Bagian awal dari game ini terasa seperti fanfic yang dibuat karena tim penulisnya sangat menyukai sesuatu. Tanpa diolah samasekali, hanya jadi pastiche hasil dijahit satu sama lain. Melompat dari satu media sci-fi ke media sci-fi lainnya. Hanya dalam sekitar 10 menit, kalian akan dibuat menyadari bahwa ini bukan hanya cerita pemuda dan robot, tapi juga Godzilla. Dan War of The Worlds. Dan ET. Dan Total Recall. Dan Toki wo Kakeru Shoujo. Dan bahkan beragam shoujo manga yang disukai oleh George Kamitani, sang game director, saat dia masih remaja. Setiap playable character dari game ini memiliki character arc yang secara langsung diangkat dari pelbagai judul media yang sudah ada sebelumnya. Sebutkan satu judul sci-fi populer, maka elemen dari judul tersebut kemungkinan besar akan kalian temui di 13 Sentinels.
Meskipun begitu referensial, hal ini tidak membuat storywriting di 13 Sentinels menjadi malas. Justru kebalikannya, 13 Sentinels adalah salah satu cerita paling ambisius yang pernah saya konsumsi dalam sekian tahun belakangan ini. Kembali pada poin sebelumnya, terlihat jelas bahwa tim penulis 13 Sentinels tidak hanya fangasming belaka, namun juga punya kendali penuh terhadap setiap story trope yang mereka inkorporasikan kedalam cerita.
Yang lebih menarik lagi, ini secara metatekstual berhubungan langsung dengan apa yang dihadapi para karakter di game ini. Tanpa harus menspoiler ceritanya begitu jauh, setiap karakter di game ini juga mengonsumsi media. Untuk saling terhubung satu sama lain, sebagai inspirasi atas solusi masalah yang mereka hadapi, atau untuk membekali seseorang dengan mimpi. Dan melalui pengetahuan kolektif yang dikumpulkan manusia melalui media yang mereka konsumsi, mereka jadi punya kesempatan untuk melawan balik monster yang mencoba menyerang bumi.
Pastiche yang bernama 13 Sentinels ini, ternyata sedemikian rupa membentuk sesuatu yang apik. Pada suatu titik story trope tadi tidak hanya digunakan oleh gamenya untuk membantunya menceritakan sesuatu, melainkan juga oleh setiap karakternya untuk maju kedepan. Logika internal dari game ini konsisten dengan apa yang diterapkan oleh tim yang membuatnya. Bahwa tidak mengapa mengonsumsi media selama kita bisa menggunakan itu sebagai bahan pelajaran. Melangkah tanpa mengulangi apa yang salah.
Berterimakasihlah pada kisah - kisah mengenai pemuda dan robot. Karenanya, kita sudah siap jikalau suatu saat nanti makhluk asing dari luar bumi hendak menyerang manusia.
~ siswa
Demikian akhir dari Buletin Seguecast edisi pertama ini.
Masih perlu alasan untuk prokrastinasi? Jangan khawatir, ada sekitar 18 jam konten podcast yang bisa kalian dengarkan sebagai background noise atau pengusir serangga di official Youtube channel Seguecast.
Apabila pembaca sekalian tertarik untuk menjadi penulis kontributor di salah satu edisi Buletin Seguecast, silakan hubungi kami langsung dengan mampir di official Facebook Seguecast.
Akhir kata, apabila selama membaca segmen di atas teman-teman merasa kesal dan ingin meluapkan amarah, kami menyarankan untuk membagikan Buletin Seguecast edisi ini dan mengumumkan borok-boroknya tulisan kami dengan tombol share di bawah ini:
Sampai jumpa di edisi 2!